Rabu, 21 April 2010

Sistem Ujian Nasional; Ketidakakuratan Sistem yang Menghancurkan Moral Bangsa

Analisis Wacana Media

Sistem Ujian Nasional;

Ketidakakuratan Sistem yang Menghancurkan Moral Bangsa

pada “Wawasan Media” dan “Media Indonesia”

By: Siti Ulfah

Ujian Nasional adalah suatu event yang teramat penting bagi kebanyakan orang, khususnya bagi mereka yang mempunyai hubungan dengan pendidikan sekolah, entah itu wali murid, guru, dll. Pada dasarnya, pelaksanaan ujian dalam pendidikan adalah sesuatu yang sifatnya inheren dan menjadi rangkaian tidak terpisahkan dalam proses pendidikan itu sendiri. Ujian dimaksudkan sebagai salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar. Dari sana selanjutnya bisa dilakukan evaluasi seperlunya untuk memperbaiki berbagai kekurangan atau kelemahan yang masih ada. Oleh karenanya, tak sedikit media yang menayangkannya termasuk dua media yang akan dibahas, Media Indonesia dan Wawasan Media. Disebutkan dalam kedua media tersebut bahwasanya pendidikan anak itu teramat penting bagi perjalanan dan perkembangan bangsa ini kelak. Pendidikan adalah sarana untuk membentuk pribadi-pribadi calon pewaris bangsa. Oleh karena itu, system yang ada harus benar-benar diperhatikan demi terlaksananya pembangunan kualitas Iptek dan moral/Imtek penerus bangsa.

Pada Wawasan Media (Selasa,20/04/10), kritikan yang diberikan kepada pemerintah cukup tajam. Di sana diungkapkan dengan gamblang bahwasanya mekanisme ujian nasional yang dirasakan bertentangan dengan konsep pendidikan yang ideal. Artinya, pelaksana ujian seharusnya adalah para guru yang selama ini telah mengajar dan mendidik siswa dari awal. Mekanisme UN yang diserahkan kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dianggap mengebiri hak para guru untuk mengevaluasi dan menguji anak didiknya sendiri. Pendelegasian pelaksanaan UN kepada BSNP dinilai tidak tepat karena para anggota BSNP tidak mengikuti perkembangan pendidikan anak didik di berbagai sekolah di Tanah Air sejak awal. Karena itu, ada yang beranggapan sistem pengujian dalam UN menggunakan pendekatan gebyah uyah. Pendekatan ini memakai paradigma generalisasi. Artinya, semua sekolah di seluruh pelosok Tanah Air diasumsikan memiliki kualitas yang sama, fasilitas yang sama, dan kesempatan yang sama besar dalam mengerjakan UN.

“ Padahal, realitas di lapangan tidaklah seideal itu. Masih banyak sekolah yang keberadaannya ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Bahkan, banyak juga sekolah yang tinggal menunggu hari kematiannya saja karena kesulitan dana untuk melangsungkan operasional sehari hari.Oleh karena itu, pelaksanaan UN yang diarahkan untuk mencapai tujuan peningkatan mutu pendidikan adalah seperti mimpi di siang bolong. Seharusnya UN dimaksudkan sebagai alat pemetaan kondisi pendidikan (mapping) di masingmasing sekolah untuk selanjutnya dijadikan alat untuk mengelompokkan sekolah berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan.Jika ini yang dilakukan, saya yakin pemerintah lebih mudah melakukan identifikasi berbagai permasalahan yang menggelayut dalam dunia pendidikan saat ini. Jangan sampai anak didik dijadikan kelinci percobaan kebijakan, karena dampaknya tidak baik bagi anak didik itu sendiri.”

Pada Media Indonesia (Rabu,07/04/10), juga mengungkapkan kritikan yang cukup tajam, akan tetapi masih disandarkan pada suatu instansi terkait, yakni mengutip hasil wawancara dengan DPD komite III. Menurut Komite III DPD menyatakan bahwa Komite III telah mendesak Mendiknas agar meninjau ulang pelaksanaan ujian nasional (UN) yang dinilai sarat dengan berbagai kecurangan yang dilakukan secara berjamaah serta tidak akan pernah meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

"Pengawasan dan kajian tentang UN yang dihimpun Komite III menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN tidak didukung oleh berbagai pihak," kata Ketua Komisi III DPD Sulistiyo saat jumpa pers di ruang wartawan DPD Jakarta, Bahkan, ia menambahkan, MA telah mengabulkan gugatan hukum terkait penyelenggaraan UN itu. Keputusan MA, meskipun tidak secara tegas melarang pelaksanaan UN, tetapi amar putusannya jelas menunjukkan bahwa Kementerian Diknas telah lalai melakukan peningkatan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah hingga penyediaan askes informasi yang lengkap sebelum melaksanakan UN.”

Sedangkan terkait kecurangan yang ditemukan sewaktu ujian Nasional, kedua media sepakat menyatakan bahwasanya Ujian Nasional yang tidak mempertimbangkan kondisi bangsa ini seluruhnya malah akan membuat kemerosotan pendidikan dan kebobrokan moral. Sudah menjadi rahasia umum bahwasanya ketika Ujian Nasional, kecurangan marak terjadi dimana-mana, mentri pendidikan sendiri mengakui hal tersebut. Sehingga banyak kalangan sepakat bahwasanya perlu adanya peninjauan dan pengkajian ulang system Ujian Nasional di Indonesia.

Adapun terkait permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan sewaktu UN, Media Indonesia mengungkapkan adanya beberapa factor penyebab yang cukup relevan dan perlu dipertimbangkan, salah satu diantaranya yaitu factor system yang dikaitkan dengan factor geografis,

“Berbagai kecurangan yang mewarnai di setiap pelaksanaan UN harus diakui sangat sulit pemberantasannya. Beberapa hal bisa diajukan menjadi faktor penyebab. Pertama, faktor geografis Indonesia yang sedemikian besar dan luas tentu akan menyulitkan mekanisme pengawasan terhadap UN yang berkualitas dan jujur. Kedua, faktor ’’sosial” dalam artian negatif, di mana saling bantumembantu untuk meraih nilai UN yang tinggi. Ketiga, faktor finansial atau ekonomi, di mana soal UN dan kunci jawaban dijual dengan imbalan uang yang sangat besar.Keempat, tidak tegasnya sanksi bagi yang melakukan kecurangan menyebabkan tiadanya efek jera bagi yang lain untuk melakukan kecurangan dan kecurangan kembali .

Kecurangan yang dilakukan, menurut Media Indonesia, tak hanya melibatkan murid saja, tapi juga para guru-gurunya,

“Selain itu, katanya, otoritas akademik guru dan profesi guru sangat dilecehkan dengan masuknya aparat keamanan atau pihak-pihak lainnya yang turut menambah kekacauan penyelenggaraan UN. "Berbagai penyimpangan dalam praktik ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan UN harus diubah," katanya”

Pada Media Indonesia, tercantim bahwasanya UN setelah sekian lama diterapkan masih tidak menunjukkan dampak positif, malah bisa dikatakan semakin memperburuk pemdidikan di Indonesia, bahkan DPD menyatakan, kedepannya mungkin sebaiknya UN dihapuskan.

.
”Lebih lanjut ia mengatakan bahwa asumsi UN akan berdampak positif terhadap peningkatan kualitas pendidikan juga tidak tepat karena kualitas ditentukan oleh banyak faktor seperti kualitas guru, sarana prasarana, kurikulum, dana, manajemen dan sebagainya.
Namun pada faktanya, setelah UN sekian lama dilaksanakan, tanda-tanda pendidikan di Indonesia semakin baik dan berkualitas masih jauh dari harapan. "Bahkan berbagai laporan menunjukkan anak-anak didik merasakan stres mendalam serta ada pula indikasi penyimpangan prilaku seperti upaya bunuh diri akibat UN itu," katanya.

Terkait dengan berbagai fenomena itu, DPD menyatakan UN 2010 adalah UN transisi dan harus segera diakhiri. Pemerintah harus memperbaiki mekanisme evaluasi belajar siswa dan tidak lagi menjadikan UN sebagai alat ukur penentuan kelulusan siswa. DPD menegaskan, evaluasi belajar siswa itu seyogyanya merupakan evaluasi yang beragam sesuai dengan tingkat kecakapan dan kompetensi yang ingin dicapai. (Ant/OL-06)”

Terkait dengan system UN yang bukannya malah membangun dan perlu dikaji ulang, pakar pendidikan banyak yang menyetujuinya, termasuk Daniel M Rosyid dalam suatu media lain menyatakan bahwa penerapan UN harus disesuaikan, yakni system yang dibuat agar tidak sentralistik tapi desentralistik, dalam artian nilai standar kelulusan harus dihapus sama sekali untuk meminimalisir kecurangan dan menumbuhkan sportivitas dalam pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar