Senin, 29 Maret 2010

Belum Saatnya Berbuka… : Cerpen

Kau kini berdiri dihadapanku dengan tatapan penuh amarah dan harap, penuh tanya dan pinta. Sungguh menyayat hati, kesedihanmu adalah pukulan batin bagiku, amarahmu seolah memanggil seluruh syaraf tubuhku untuk mendekatimu, mendekapmu dan mengusap butiran air mata bening yang tak henti-hentinya mengalir…

Sudah lama sejak 5 tahun yang lalu, kau yang muda belia dengan seragam putih birumu yang warnanya masih jelas dan belum pudar. Maklum, belum genap satu semester kau kenakan seragam itu. Maisya, nama panggilanmu , yang baru beberapa bulan sudah begitu terkenal dan berkesan dikalangan para guru dan siswa. Kecerdasan dan keberanianmu mengungkapkan pikiran telah membuat banyak orang berdecak kagum memujimu. Wajahmu memang bukan yang tercantik, namun wajahmu telah berhasil memenuhi majalah dinding sekolah sekaligus dinding hati para lelaki di sekolah. Tak terkecuali aku yang entah sejak kapan aku sendiri tak mengerti.

Maisya, kulitmu tak seputih clara, gadis indo yang pernah jadi primadona sekolah sebelum kau masuk dan menggantikan posisinya. Tubuhmu tak seindah Sinta yang oleh teman-teman dijuluki ratu kunyit asam, karena selain bodinya yang molek, ia juga hobi sekali minum kunyit asam di kantin sekolah. Biasa, sungguh secara fisik kau terkesan biasa, bahkan sangat biasa layaknya gadis desa pada umumnya. Kulit sawo matang, tubuh kurus yang tak terlalu tinggi dengan rambut tipis sedikit bergelombang yang dikuncir. Tidak ada yang menarik bahkan pakaian yang kau kenakan tidak semodis yang dikenakan para gadis di sekolah. Namun, kau begitu menarik di mata banyak orang. Dari sekian banyak gadis yang mencoba menarik perhatianku, hanya kau yang berhasil masuk dan merasuk di ruang hati. hal ini karena selain prestasi gemilang, kau punya sifat rendah hati dan sopan terhadap siapa saja.

Aku sangat beruntung, selain aku adalah orang pertama yang kau kenal, aku juga adalah kakak kelas laki-laki terdekatmu. Aku yang selalu kau datangi, kau keluhi, sekaligus kau sanjung bahkan juga kau sayangi. Baru kali ini aku bisa menyukai seseorang yang sekaligus berbalas dengan cintamu. Kau katakan aku adalah laki-laki terbaik dalam hidupmu yang senantiasa berusaha mewujudkan perbaikan diri dan sekitar, yang pandai, ulet dan sederhana. Ringan sekali mulutmu memujiku, sebaliknya bagiku kau adalah pemilik pujian yang kau tujukan padaku. Aku masih ingat awal kau memujiku, yaitu saat aku sodorkan bulpen padamu yang ketakutan dihukum saat masa orientasi di sekolah. Semenjak itu, kau tak pernah lupakan aku.

“ Maisya, aku akan ke kota dalam waktu yang agak lama,” ucapku

Langit yang kelabu tertutup awan mendung dengan gerimis yang sedari tiada hentinya menebar rintik-rintik air ke permukaan bumi ini semakin menambah kelabunya suasana hati. hening, tiada kata, dua sejoli muda yang sejak pulang sekolah berdiri kaku di bawah genteng gedung olah raga sekolah. Gedung ini adalah gedung paling pojok yang berbatasan langsung dengan persawahan penduduk. Desa tempat sekolah ini didirikan adalah desa yang jarang berpenghuni. Namun sekolah ini adalah sekolah terfavorit yang berprestasi dan merupakan sekolah yang paling diinginkan oleh penduduk di sepuluh desa kabupaten Sukohati.

Sawah itu tampak indah sekali dengan langit mendung daun batang padi tampak semakin hijau. Gerimis yang membasahi sawah turut juga mempertegas warna hijau sawah. Lapang dan damai.

“aku akan tetap di sini, meski kau berjalan ke ujung langit itu” sambil kau tunjuk lurus ke depan ke area yang hanya tampak dua warna, hijau sawah dan langit kelabu.

“suatu saat aku akan kembali dan membawamu, tenanglah, aku ke sana untuk kuliah. Kelak kau bisa juga kuliah di sana” ucapku sambil melirik ke arah kanan, ke wajah sendu mu yang makin tampak cantik dan anggun.

“ suatu saat aku akan menyusulmu. Ingatkan mu saat kau lupa akan janjimu” sahutmu dengan tanpa mengalihkan pandangan dan tetap memandang ke depan, ke arah sawah. Dingin sekali tanpa ekspresi. Tetap hening hingga adzan Ashar sayup terdengar dan kita berjalan berpisah ke arah masing-masing..

Kau ada di depanku tetap dengan tatapan tajam dan mata berkaca-kaca. “ setan apa yang telah menculikmu dari ku?” tanyamu lirih namun tegas. “ Setan apa yang menghapuskan ingatan lima tahun lalu kita?” lanjutmu

Tepat satu tahun sudah kehadiranmu di Universitas Sentra Aksara Surabaya. Satu bulan sebelum kau masuk, aku sudah dengar kabar kepindahanmu ke Surabaya sebagai salah satu penerima beasiswa berprestasi Desa Sukohati. Aku tahu kau pasti mudah mendapatkannya. Dari lubuk hatiku, aku senang sekali dan tak sabar menantikan kehadiranmu. Sungguh kau tak pernah dapat aku lupakan apalagi tergantikan hingga saat ini. Aku ingat aku dulu pernah menuliskan sajak di buku harianmu

Aku kan membawamu ke singgasana

Diarak malaikat dan bidadari surga

Penuh cahaya dan kesenangan abadi

Meski kini, pahit rela ku nikmati, & sakit rela ku jalani..

Kau datang dan langsung mencari keberadaanku sejak hari pertama perkuliahanmu. Kau bertanya penuh antusias, adakah mereka mengenalku, Rahman. Tak ayal lagi, kepadatan aktivitasku selama ini telah membuat namaku cukup dikenal banyak orang. Selain aktif di Rohis kampus, BEM, aku juga aktif di salah satu organisasi ekstra kampus. Hal inilah yang kemudian mempermudahmu melacak keberadaanku.

“Rahman yang aktivis Rohis itu ya Dek??, yang anak beasiswa Sukohati??” jawab Prita salah seorang adek kelas 2 tahun di bawahku yang juga aktif di Rohis.

Rita mengirimi pesan singkat ke nomor handphone ku seketika. Memberikan kabar ada Maba dari daerah Sukohati ingin bertemu. Jujur dalam hati aku senang dan ini adalah saat yang aku nantikan sejak perpisahan lima tahun yang lalu. Namun ada rasa khawatir yang juga hinggap di hatiku. Aku adalah Rahman yang berbeda dengan Rahman lima tahun lalu. Mana mungkin aku bisa bersikap layaknya Rahman yang lalu. Dan lagi, aku tentunya akan sangat malu ketika Maisya bercerita banyak hal tentang kisah yang sudah lama aku pendam dalam-dalam. Tentunya banyak orang yang kaget menyaksikan aku, yang selama kuliah tak pernah dekat dengan wanita, ternyata mempunyai kisah lama yang cukup romantis. Aku pun segera beranjak dari perpustakaan masjid kampus dan berjalan menuju fakultasku. Memasuki area fakultas, dari kejauhan aku mampu melihatmu. Kau tampak berbeda, lebih tampak seorang gadis dewasa dan bukan remaja SMA yang kekanak-kanakan. Lebih cantik malah. Astaghfirullah, seketika hatiku berontak dan mengendalikan gejolak yang mulai bereaksi. Selama aktif di Rohis kampus, aku berlatih menjaga mata dan hati dari hal- hal yang belum saatnya aku nikmati. Meski jujur, ini juga berkat rasa yang tak pernah bisa aku lupakan terhadapmu. Meski dengan susah payah aku memendam rindu dan menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas.

Sejak awal aku masuk universitas, aku bertemu dengan kumpulan anak Rohis yang beberapa juga aktif di BEM. Mereka melayani para mahasiswa baru dengan ramah dan bersahabat. Aku langsung merasa nyaman dekat dengan mereka. sebelumnya terbersit pikiran bahwa anak kota tentunya lebih individualis dan jauh dari kata alim. Namun ternyata jauh berbeda dari yang aku bayangkan, aku bertemu dan dibantu oleh orang-orang yang kesehariannya tak pernah lepas dari Alquran saku dan senantiasa mengisi waktu luangnya untuk mengaji. Sambutan yang ramah dan hangat membuat aku seketika jatuh hati kepada mereka dan apa yang mereka perjuangkan. Memberikan aku warna dan pemahaman baru tentang kehidupan yang lebih Islamy. Konsisten, itu penilaian awal ku untuk mereka. Tidak pernah aku temui di desa mereka yang sekonsisten itu menjalankan pasal demi pasal bahkan butir demi butir undang- undang dalam agama nya. Aku pun tinggal di kontrakan mereka dan menjalankan keseharian yang sarat peribadatan bersama mereka.

Hidup adalah pilihan. Itu juga yang aku saksikan pada teman- teman ku yang lain. Ada juga, bahkan kebanyakan memilih hidup lebih bebas dan lebih sering menghabiskan waktu untuk nongkrong dengan kawannya yang lain. Waktu ku tanya kakak kelas sekontrakan ku Faris, orang yang dianggap paling alim dan berwibawa, ia bilang itu semua pilihan. Setiap orang memilih jalan kebahagiaan sejati sesuai dengan apa yang menurut mereka lebih menyenangkan. Mereka juga bisa menjalin hubungan dengan gadis yang mereka sukai kapan saja dan dimana saja. Suatu hal yang tak pernah kusaksikan di antara kakak kelasku di Rohis, bahkan ku baru memahami perlahan bahwa mereka berusaha menjauhinya. Aku pun bertanya langsung pada Faris seniorku, adakah ia rindukan seseorang atau merasakan getaran rasa suka terhadap lawan jenis. Ia pun menjawab dengan senyum dan tetap tenang. “ Rasa kecenderungan terhadap seseorang itu fitrah saudaraku, selalu ada dalam diri manusia normal. Hanya saja kita harus mampu mngendalikannya agar tak sembarangan terluapkan begitu saja. Islam sudah banyak mengatur tentang hal itu.” Jawabnya.

“ Bagaimana jika kau begitu mendambakan seseorang?”

“ itu sangat wajar. Biarlah rasa itu menjadi salah satu bumbu rasa saja. Yang saat ini bukan menjadi tuntutan utama. Pilihan Allah itu tentunya lebih baik, waktunya akan datang jika kita sudah benar-benar siap kelak. Memang sulit dilakukan pada kenyataannya.”

“ bagaimana jika kau sedang merindukan seseorang?”

“ rasa rindu itu fitrah, namun cobalah mengujinya, benarkah itu adalah rasa sejati atau kah rindu itu rasa yang terhembus dari bisikan nafsu sesaat?”

Mereka juga mempunyai rasa itu. Mereka mengajarkan banyak hal, juga tentang rasa cinta. Cinta suci versi Islam adalah senantiasa mendoakan dan menjaganya. Menjaga dalam artian tidak menodai nama dan kehormatan mereka baik dimata dunia atau di mata Allah. Tidak menelanjangi mereka dengan mata telanjang, tidak menikmati mereka sebelum waktunya dan membiarkan jiwa dan raganya semakin dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Subhanalloh,, itu definisi cinta yang baru aku dapatkan, deretan kata yang maknanya mampu meresap jauh ke dalam nurani dan merilekskan seluruh syaraf tubuhku.

“ wanita itu terhormat, jangan menodainya dengan sembarangan menghisap madunya,”

“ cinta itu pasti, dan bukan cinta jika hembusannya menjauhkan diri dari sumber cinta dan pemilik cinta sejati…. Cinta itu pasti, dan bukan cinta jika ia melahirkan kerusakan. Cinta dan nafsu itu dua hal yang berbeda namun sulit untuk dibedakan” ungkap Faris saat piket kultum subuh di kontrakan.

Kau temui aku dengan senyum dan matamu yang berbinar. Aku tak kuasa memandangmu. Desir yang ku rasakan begitu kencangnya menerpa dan seolah meluluhkan sedikit demi sedikit pertahananku.

“ Selamat datang di Universitas Sentra Aksara, jaga diri baik-baik dan semoga sukses.”

Aku beranikan diri mengatakannya. Terkesan formal memang. Aku merasakan ada perubahan dalam raut mukamu yang seketika menampakkan kekecewaan mendalam. Apa boleh buat, aku harus mendahului bersikap sebelum kau bersikap seperti sikapmu padaku dahulu.

“ aku di sini karena mu, aku tembus cakrawala untuk bisa bertemu denganmu, dan mengingatkan akan janjimu” ucapmu lirih namun tegas.

Aku mendengarnya dengan jelas. Aku segera berpaling dan melangkah menjauh dari mu. Aku sungguh tak kuasa menyakitimu. Menyakitimu sama halnya dengan menyakiti diriku ribuan kali lebih dahsyatnya. Namun biarlah ku tahan rasa sakit ini untuk persembahkan kebahagiaan sejati pada mu kelak. Saat ini bersabarlah hingga waktunya tiba, tinggal sejenak lagi. Sungguh aku tak pernah lupakan janjiku. Tiap malam do’aku terlantun juga untuk yang terkasih. Aku masih ingat dengan jelas, “ ingin membawamu kesinggasana, diarak malaikat dan bidadari”. Dan sebaliknya, tak ingin membawamu masuk ke jurang kesengsaraan, bersama iblis dan abadi.

Bersabarlah, hingga tiba saatnya berbuka..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar