Senin, 29 Maret 2010

Belum Saatnya Berbuka… : Cerpen

Kau kini berdiri dihadapanku dengan tatapan penuh amarah dan harap, penuh tanya dan pinta. Sungguh menyayat hati, kesedihanmu adalah pukulan batin bagiku, amarahmu seolah memanggil seluruh syaraf tubuhku untuk mendekatimu, mendekapmu dan mengusap butiran air mata bening yang tak henti-hentinya mengalir…

Sudah lama sejak 5 tahun yang lalu, kau yang muda belia dengan seragam putih birumu yang warnanya masih jelas dan belum pudar. Maklum, belum genap satu semester kau kenakan seragam itu. Maisya, nama panggilanmu , yang baru beberapa bulan sudah begitu terkenal dan berkesan dikalangan para guru dan siswa. Kecerdasan dan keberanianmu mengungkapkan pikiran telah membuat banyak orang berdecak kagum memujimu. Wajahmu memang bukan yang tercantik, namun wajahmu telah berhasil memenuhi majalah dinding sekolah sekaligus dinding hati para lelaki di sekolah. Tak terkecuali aku yang entah sejak kapan aku sendiri tak mengerti.

Maisya, kulitmu tak seputih clara, gadis indo yang pernah jadi primadona sekolah sebelum kau masuk dan menggantikan posisinya. Tubuhmu tak seindah Sinta yang oleh teman-teman dijuluki ratu kunyit asam, karena selain bodinya yang molek, ia juga hobi sekali minum kunyit asam di kantin sekolah. Biasa, sungguh secara fisik kau terkesan biasa, bahkan sangat biasa layaknya gadis desa pada umumnya. Kulit sawo matang, tubuh kurus yang tak terlalu tinggi dengan rambut tipis sedikit bergelombang yang dikuncir. Tidak ada yang menarik bahkan pakaian yang kau kenakan tidak semodis yang dikenakan para gadis di sekolah. Namun, kau begitu menarik di mata banyak orang. Dari sekian banyak gadis yang mencoba menarik perhatianku, hanya kau yang berhasil masuk dan merasuk di ruang hati. hal ini karena selain prestasi gemilang, kau punya sifat rendah hati dan sopan terhadap siapa saja.

Aku sangat beruntung, selain aku adalah orang pertama yang kau kenal, aku juga adalah kakak kelas laki-laki terdekatmu. Aku yang selalu kau datangi, kau keluhi, sekaligus kau sanjung bahkan juga kau sayangi. Baru kali ini aku bisa menyukai seseorang yang sekaligus berbalas dengan cintamu. Kau katakan aku adalah laki-laki terbaik dalam hidupmu yang senantiasa berusaha mewujudkan perbaikan diri dan sekitar, yang pandai, ulet dan sederhana. Ringan sekali mulutmu memujiku, sebaliknya bagiku kau adalah pemilik pujian yang kau tujukan padaku. Aku masih ingat awal kau memujiku, yaitu saat aku sodorkan bulpen padamu yang ketakutan dihukum saat masa orientasi di sekolah. Semenjak itu, kau tak pernah lupakan aku.

“ Maisya, aku akan ke kota dalam waktu yang agak lama,” ucapku

Langit yang kelabu tertutup awan mendung dengan gerimis yang sedari tiada hentinya menebar rintik-rintik air ke permukaan bumi ini semakin menambah kelabunya suasana hati. hening, tiada kata, dua sejoli muda yang sejak pulang sekolah berdiri kaku di bawah genteng gedung olah raga sekolah. Gedung ini adalah gedung paling pojok yang berbatasan langsung dengan persawahan penduduk. Desa tempat sekolah ini didirikan adalah desa yang jarang berpenghuni. Namun sekolah ini adalah sekolah terfavorit yang berprestasi dan merupakan sekolah yang paling diinginkan oleh penduduk di sepuluh desa kabupaten Sukohati.

Sawah itu tampak indah sekali dengan langit mendung daun batang padi tampak semakin hijau. Gerimis yang membasahi sawah turut juga mempertegas warna hijau sawah. Lapang dan damai.

“aku akan tetap di sini, meski kau berjalan ke ujung langit itu” sambil kau tunjuk lurus ke depan ke area yang hanya tampak dua warna, hijau sawah dan langit kelabu.

“suatu saat aku akan kembali dan membawamu, tenanglah, aku ke sana untuk kuliah. Kelak kau bisa juga kuliah di sana” ucapku sambil melirik ke arah kanan, ke wajah sendu mu yang makin tampak cantik dan anggun.

“ suatu saat aku akan menyusulmu. Ingatkan mu saat kau lupa akan janjimu” sahutmu dengan tanpa mengalihkan pandangan dan tetap memandang ke depan, ke arah sawah. Dingin sekali tanpa ekspresi. Tetap hening hingga adzan Ashar sayup terdengar dan kita berjalan berpisah ke arah masing-masing..

Kau ada di depanku tetap dengan tatapan tajam dan mata berkaca-kaca. “ setan apa yang telah menculikmu dari ku?” tanyamu lirih namun tegas. “ Setan apa yang menghapuskan ingatan lima tahun lalu kita?” lanjutmu

Tepat satu tahun sudah kehadiranmu di Universitas Sentra Aksara Surabaya. Satu bulan sebelum kau masuk, aku sudah dengar kabar kepindahanmu ke Surabaya sebagai salah satu penerima beasiswa berprestasi Desa Sukohati. Aku tahu kau pasti mudah mendapatkannya. Dari lubuk hatiku, aku senang sekali dan tak sabar menantikan kehadiranmu. Sungguh kau tak pernah dapat aku lupakan apalagi tergantikan hingga saat ini. Aku ingat aku dulu pernah menuliskan sajak di buku harianmu

Aku kan membawamu ke singgasana

Diarak malaikat dan bidadari surga

Penuh cahaya dan kesenangan abadi

Meski kini, pahit rela ku nikmati, & sakit rela ku jalani..

Kau datang dan langsung mencari keberadaanku sejak hari pertama perkuliahanmu. Kau bertanya penuh antusias, adakah mereka mengenalku, Rahman. Tak ayal lagi, kepadatan aktivitasku selama ini telah membuat namaku cukup dikenal banyak orang. Selain aktif di Rohis kampus, BEM, aku juga aktif di salah satu organisasi ekstra kampus. Hal inilah yang kemudian mempermudahmu melacak keberadaanku.

“Rahman yang aktivis Rohis itu ya Dek??, yang anak beasiswa Sukohati??” jawab Prita salah seorang adek kelas 2 tahun di bawahku yang juga aktif di Rohis.

Rita mengirimi pesan singkat ke nomor handphone ku seketika. Memberikan kabar ada Maba dari daerah Sukohati ingin bertemu. Jujur dalam hati aku senang dan ini adalah saat yang aku nantikan sejak perpisahan lima tahun yang lalu. Namun ada rasa khawatir yang juga hinggap di hatiku. Aku adalah Rahman yang berbeda dengan Rahman lima tahun lalu. Mana mungkin aku bisa bersikap layaknya Rahman yang lalu. Dan lagi, aku tentunya akan sangat malu ketika Maisya bercerita banyak hal tentang kisah yang sudah lama aku pendam dalam-dalam. Tentunya banyak orang yang kaget menyaksikan aku, yang selama kuliah tak pernah dekat dengan wanita, ternyata mempunyai kisah lama yang cukup romantis. Aku pun segera beranjak dari perpustakaan masjid kampus dan berjalan menuju fakultasku. Memasuki area fakultas, dari kejauhan aku mampu melihatmu. Kau tampak berbeda, lebih tampak seorang gadis dewasa dan bukan remaja SMA yang kekanak-kanakan. Lebih cantik malah. Astaghfirullah, seketika hatiku berontak dan mengendalikan gejolak yang mulai bereaksi. Selama aktif di Rohis kampus, aku berlatih menjaga mata dan hati dari hal- hal yang belum saatnya aku nikmati. Meski jujur, ini juga berkat rasa yang tak pernah bisa aku lupakan terhadapmu. Meski dengan susah payah aku memendam rindu dan menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas.

Sejak awal aku masuk universitas, aku bertemu dengan kumpulan anak Rohis yang beberapa juga aktif di BEM. Mereka melayani para mahasiswa baru dengan ramah dan bersahabat. Aku langsung merasa nyaman dekat dengan mereka. sebelumnya terbersit pikiran bahwa anak kota tentunya lebih individualis dan jauh dari kata alim. Namun ternyata jauh berbeda dari yang aku bayangkan, aku bertemu dan dibantu oleh orang-orang yang kesehariannya tak pernah lepas dari Alquran saku dan senantiasa mengisi waktu luangnya untuk mengaji. Sambutan yang ramah dan hangat membuat aku seketika jatuh hati kepada mereka dan apa yang mereka perjuangkan. Memberikan aku warna dan pemahaman baru tentang kehidupan yang lebih Islamy. Konsisten, itu penilaian awal ku untuk mereka. Tidak pernah aku temui di desa mereka yang sekonsisten itu menjalankan pasal demi pasal bahkan butir demi butir undang- undang dalam agama nya. Aku pun tinggal di kontrakan mereka dan menjalankan keseharian yang sarat peribadatan bersama mereka.

Hidup adalah pilihan. Itu juga yang aku saksikan pada teman- teman ku yang lain. Ada juga, bahkan kebanyakan memilih hidup lebih bebas dan lebih sering menghabiskan waktu untuk nongkrong dengan kawannya yang lain. Waktu ku tanya kakak kelas sekontrakan ku Faris, orang yang dianggap paling alim dan berwibawa, ia bilang itu semua pilihan. Setiap orang memilih jalan kebahagiaan sejati sesuai dengan apa yang menurut mereka lebih menyenangkan. Mereka juga bisa menjalin hubungan dengan gadis yang mereka sukai kapan saja dan dimana saja. Suatu hal yang tak pernah kusaksikan di antara kakak kelasku di Rohis, bahkan ku baru memahami perlahan bahwa mereka berusaha menjauhinya. Aku pun bertanya langsung pada Faris seniorku, adakah ia rindukan seseorang atau merasakan getaran rasa suka terhadap lawan jenis. Ia pun menjawab dengan senyum dan tetap tenang. “ Rasa kecenderungan terhadap seseorang itu fitrah saudaraku, selalu ada dalam diri manusia normal. Hanya saja kita harus mampu mngendalikannya agar tak sembarangan terluapkan begitu saja. Islam sudah banyak mengatur tentang hal itu.” Jawabnya.

“ Bagaimana jika kau begitu mendambakan seseorang?”

“ itu sangat wajar. Biarlah rasa itu menjadi salah satu bumbu rasa saja. Yang saat ini bukan menjadi tuntutan utama. Pilihan Allah itu tentunya lebih baik, waktunya akan datang jika kita sudah benar-benar siap kelak. Memang sulit dilakukan pada kenyataannya.”

“ bagaimana jika kau sedang merindukan seseorang?”

“ rasa rindu itu fitrah, namun cobalah mengujinya, benarkah itu adalah rasa sejati atau kah rindu itu rasa yang terhembus dari bisikan nafsu sesaat?”

Mereka juga mempunyai rasa itu. Mereka mengajarkan banyak hal, juga tentang rasa cinta. Cinta suci versi Islam adalah senantiasa mendoakan dan menjaganya. Menjaga dalam artian tidak menodai nama dan kehormatan mereka baik dimata dunia atau di mata Allah. Tidak menelanjangi mereka dengan mata telanjang, tidak menikmati mereka sebelum waktunya dan membiarkan jiwa dan raganya semakin dekat dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Subhanalloh,, itu definisi cinta yang baru aku dapatkan, deretan kata yang maknanya mampu meresap jauh ke dalam nurani dan merilekskan seluruh syaraf tubuhku.

“ wanita itu terhormat, jangan menodainya dengan sembarangan menghisap madunya,”

“ cinta itu pasti, dan bukan cinta jika hembusannya menjauhkan diri dari sumber cinta dan pemilik cinta sejati…. Cinta itu pasti, dan bukan cinta jika ia melahirkan kerusakan. Cinta dan nafsu itu dua hal yang berbeda namun sulit untuk dibedakan” ungkap Faris saat piket kultum subuh di kontrakan.

Kau temui aku dengan senyum dan matamu yang berbinar. Aku tak kuasa memandangmu. Desir yang ku rasakan begitu kencangnya menerpa dan seolah meluluhkan sedikit demi sedikit pertahananku.

“ Selamat datang di Universitas Sentra Aksara, jaga diri baik-baik dan semoga sukses.”

Aku beranikan diri mengatakannya. Terkesan formal memang. Aku merasakan ada perubahan dalam raut mukamu yang seketika menampakkan kekecewaan mendalam. Apa boleh buat, aku harus mendahului bersikap sebelum kau bersikap seperti sikapmu padaku dahulu.

“ aku di sini karena mu, aku tembus cakrawala untuk bisa bertemu denganmu, dan mengingatkan akan janjimu” ucapmu lirih namun tegas.

Aku mendengarnya dengan jelas. Aku segera berpaling dan melangkah menjauh dari mu. Aku sungguh tak kuasa menyakitimu. Menyakitimu sama halnya dengan menyakiti diriku ribuan kali lebih dahsyatnya. Namun biarlah ku tahan rasa sakit ini untuk persembahkan kebahagiaan sejati pada mu kelak. Saat ini bersabarlah hingga waktunya tiba, tinggal sejenak lagi. Sungguh aku tak pernah lupakan janjiku. Tiap malam do’aku terlantun juga untuk yang terkasih. Aku masih ingat dengan jelas, “ ingin membawamu kesinggasana, diarak malaikat dan bidadari”. Dan sebaliknya, tak ingin membawamu masuk ke jurang kesengsaraan, bersama iblis dan abadi.

Bersabarlah, hingga tiba saatnya berbuka..

Rabu, 03 Maret 2010

Saudara Baru yang menyenangkan..












aku kira aku akan terdampar,,
dalam hening kesunyian nan asing..
namun ternyata sebaliknya,,
kutemukan keluarga baru yang menyenangkan...

Tim KKN BBM ke 41 Unair, kel. Balas Klumprik, Kec. Wiyung...
1 bulan Ta'arrufan bareng mereka.... entah apa ada di antara mereka yang kelak menapak ke jenjang ta'lamar,, hingga ta'nikah gara-gara KKN?? ... ^_^..

yah... Rencana Alloh lebih Indah dari yang kita bayangkan...
kalaupun iya, semoga barakah... Amin.. Luv U...

Kala Tanpa MU


Telah ku nikahi kesunyian
hingga tak satupun ada disampingku,
tak satupun lengan menggandengku,
tak satupun suara memanggilku

Telah ku cumbui kehampaan
hingga rasa tak mampu terasai,
raga seolah lagi tak bernyawa,
jiwa seolah layu tak bermakna..

telah sungguh ku pilih,,

gelap sebagai sinarku
kematian sebagai hidupku
neraka sebagai surgaku
hitam legam sebagai putihku
kepedihan sebagai senangku

Ku setubuhi nafsuku, ku acuhkan nuraniku,
ku buang jauh-jauh petunjuk MU...

Saat setan merayuku, dan aku tersungkur tak berdaya,

Tanpa MU Kasihku..

Kekasih yang Samar


samar memang hadirmu kelak

entah pernah sampai atau tidak akan pernah selamanya

kurasakan dekapan nyata hadir temani jiwa

yang kini sepi sunyi separuh jiwa

meski….

tiada tangan kini tergenggam erat,

tiada wajah kini terukir jelas di lorong jiwa

tiada dekapan nyata yang hangatkan diri, pun belaian lembut tenangkan hati,

juga untaian kata indah sejukkan jiwa…

namun tak pernah ku coba ingkari hati, tuk menanti

hadirmu yang masih samar jua

tabir ilahi siapa yang tahu.. namun ku yakin Dia Maha Tahu..

hati ini pilu dalam menanti, sedang rayu terus berlalu

hampiri diri tuk coba membujuk, mereguk nikmat yang cuma sesaat

tetap setia kan terus terjaga

hingga samar kian beralih, jelas kini hampir dan hinggap

berteduh bersama selamanya… arungi bahtera perjalanan…

Duhai Kekasihku

Dimana cinta-Mu,

Yang diburu dan dikejar seluruh pemburu cinta

Kemana cinta-Mu berlabuh,

Yang setiap hati membukakan pintu selebar-lebarnya,

Dan menanti Mu dengan penuh harap…


Duhai kekasihku…

Pesona-Mu teramat kuat, tak sedikit hati makin terpikat

gencar pecinta Mu bersolek diri,

meraih simpati, menebar pesona, berharap perhatian kan datang dari Mu..


Lihatlah padaku Kekasihku…

Aku juga bersolek diri,, meski tak secantik pecinta Mu yang lain..


Perhatikan aku Kekasihku…

Jadikan aku KekasihMu, sejajarkan aku dengan kekasih Mu yang lain…


Undanglah aku Kekasihku…

Sehingga ku ketuk pintuMu,, dan bukakanlah pintu selebar-lebarnya…


Kekasihku…

bagaimana bisa ku temukan cinta selain Mu, padahal Engkaulah pemilik cinta..

bagaimana bisa ku alihkan pandanganku,,

padahal Engkaulah penguasa Arsy…

bagaimana pula ku menjauh dariMu,,

padahal Engkaulah pemilik diri…

dan bagaimana pula ku raih kebahagiaan, padahal Engkaulah kebahagiaan sejati..


Duhai Kekasihku,, yang Maha Pencemburu…

jangan berpaling dariku, meski selingkuhku kerap buat Mu cemburu,,

maka rengkuhlah aku lagi dengan cinta Mu Kasih…

dan jangan biarkan cinta lain merenggutku tuk kesekian kalinya…

yang Abadi atau Fana


Di dalam sebuah panggung - yang telah di setting – keseluruhannya hitam pekat gelap gulita – yang menandakan malam dan kepedihan – tabir panggung terbuka perlahan-lahan. Masih tampak gelap gulita. Diiringi suara alam; jangkrik, aliran air, hembusan angin lirih. Satu lampu menyala dan hanya menyoroti satu tokoh wanita. Wanita berjilbab lebar dan bergamis putih-putih, sedang duduk bersimpuh dengan wajah tertunduk, menghadap bulan sabit di atas panggung sebelah pojok kiri atas. Bulan sabit dan bintang-bintang kertas menyala. Wanita tetap tertunduk khusyuk dengan munajatnya...

Rabb, sebelum kau cipta alam dengan seluruh isinya, malaikat dengan berjuta pasukan serupa cahaya, iblis dengan jutaan anak pinak yang terus beranak hingga sangkakala isrofil terdengar lantang, surga dengan berbagai perhiasannya, neraka dengan berbagai siksaannya, galaksi dengan berbagai perangkatnya yang dirajai surya selaku pusat energinya...

Sebelum semua-muanya Kau Cipta...

Kau telah cipta pusat energi... pusat energi cahaya cinta.. yang tiada hentinya menebar kasih Mu yang abadi...

Cahaya kekasih terkasih-Mu... Nur Muhammad...

Perempuan itu mengangkat perlahan wajahnya menatap bulan, mencari dan menebak tumpuan pandangan yang ia anggap seolah salah satu mata Tuhan. Sembari meratap dan meringis perih dengan tangan mendekap dada.

Rabb... tiada pernah ku tahu Kau memilihku hidup dengan ruh yang kini menyatu bersama raga yang fana...Tiada pernah Kau izinkan aku untuk berkata bersedia atau tidak saat Kau titahkan aku ke alam fana...

Namun tiada pernah pula ku lawan titah-Mu, karena titah-Mu yang Maha Agung tiada pernah sanggup terlawan.. karena pesona-Mu yang Maha Indah, tiada bisa terelakkan sehingga mau tidak mau begitu memikat dan menundukkan mau ku...

Semuanya karena cinta...

Kau ikat aku dengan ikrar cita, pengabdian tiada henti, hingga Kau jemput aku dengan surga-Mu, atau pengkhianatan atas cinta-Mu yang kemudian Kau campakkan aku dalam siksa lara nan abadi di neraka...

Perempuan itu menangis mengalirkan air matanya. Tetap duduk tunduk bersimpuh..

Aku bersimpuh tunduk pasrah pada Mu ya Rabb, Wahai Penggenggam diri dan seluruh arsy milik-Mu...

Aku tersadar dengan sesadar-sadarnya akan nistanya diriku...

Aku tersadar dengan sesadarnya akan hina nya segala ku...

Aku tersadar dengan sesadar-sadarnya akan rendahnya hati dan laku ku, hingga ku tak mampu meronta dan membebas dari jurang kehinaan yang teramat gelap pekat dan membelenggu

Perempuan itu menggenggam surat undangan pernikahannya di genggaman sebelah kanan dan sepucuk surat cinta kekasih di sebelah kiri. Sembari membuka keduanya di hadapannya

Ada dua tawaran jalan hidup yang begitu membuat ku tak mampu tenangkan diri, sebelah kananku tawaran-Mu tuk segera menaiki bukit kesempurnaan Dien-Mu, dengan hamba pilihan entah pilihan siapa yang pasti tangan-Mu telah menggariskannya

Sebelah kiriku tergenggam tawaran jalan lain kehidupan, untuk berlari jauh dari bukit yang sebentar lagi ku arungi bersama yang kurang berkenan di hati.. sementara dia yang berkenan di hati yang seluruh jiwa ragaku tak mampu ku alihkan darinya.. yang seluruh ruang jiwa membukakan pintu untuknya selalu.. dan kebahagiaan impian bersama sang dia yang aku kasihi... menarikku dan merintih kebersamaan denganku untuk menaiki bukit itu..

Memang telah terikat janji ku pada-Mu, janji setia berjalan lurus ke arah-Mu. Janji persembahkan jiwa ragaku dan seluruh rasa cinta hanya pada-Mu, meski apapun yang terjadi...

Perempuan itu berdiri lunglai, menangis perih mendalam... berjalan perlahan mengitari panggung.

Maafkan atas keraguan yang mestinya tak kuragukan. Maafkan atas enggannya diri tuk terus perjuangkan cinta-Mu. Maafkan atas niatan tuk pilih selingkuh yang kusadari fana dan nista..

Namun diri tak sanggup berlari, tinggalkan dia yang juga teramat ku kasihi. Ku tak sanggup bayangkan, dia yang terdiam dengan pedih tertahan dan sakit yang menghunjam...sakitinya tak lain adalah sakiti diri lebih pedih dan perih...

Lalu apa ya Rabb,, apa yang ingin kau beri padaku. Apa yang harus ku pilih, meski telah jelas bagiku apa yang kau suka..

Angin tiba-tiba datang agak kencang dengan suara hembusan angin yang sedikit kencang. Wanita itu terhempas terduduk tertunduk, bersimpuh dengan tubuh menghadap penonton. saking rapuhnya hatinya. Tiba –tiba datanglah sosok berjubah hitam dengan wajah yang tertutup. Gelap menghampiri dari samping kirinya seraya berbisik..

aku adalah hatimu yang sedang teriris pedih dalam kebimbangan yang sangat. Aku adalah kehampaan dan kesunyian yang menanti teman dan kehangatan. Aku adalah jiwa yang butuh cinta dan kebahagiaan. Raihlah segera yang kau cinta. Naikilah bukit sempurna dengannya. Tiada salah dalam cinta, tiada yang perlu diampunkan. Karena Dia tahu Cinta Mu yang teramat besar dan tiada terelakkan..

Angin pun kembali berhembus sedikit kencang. Dan datanglah lagi sosok berjubah putih berkilau cantik menawan ke samping kanan wanita tadi, seraya berbisik..

Akulah jiwamu yang suci. Akulah jiwamu yang tenang. Akulah jiwamu yang putih. Akulah nurani sejatimu. Akulah suara hidayah tuhan-Mu. Yang membisikkan jalan sejati penuh cinta. Yang mengharapkan kebahagiaan selamanya yang bukan sesaat. Pilihkan abadi dan bukan kefanaan.. raihlah cinta abadi, naikilah bukit kesempurnaan, bersama dia yang terpilih. Bersama dia yang menanti.

Kau sadar akan rendahnya tau mu. Yang tak mampu buka tabir kehidupan, dan membaca apa yang kan terjadi kelak. Percayalah Tuhanmu, yang tak pernah larakan dirimu. Yang sedang uji ikrar cinta yang kau ucap sebelum turunmu dalam fana..

Dunia kini padat akan kisah perselingkuhan yang teramat kau benci. Apakah kau sudi berpihak pada nya yang menghianati cinta?

Si putih dan si hitam terus bersama membisikkan suaranya..

Si hitam : larilah dan raih cintamu segera. Dia sedang menantimu di sana

Si putih : tetaplah dalam teguhnya hatimu. Cinta sejati ada di sini, abaikan yang fana dan pilih abadi..

Wanita itu menjerit perih. Menghentikan suara – suara yang sedari tadi mengusik nurani. Dan diapun akhirnya memilih. Pasrahkan diri dalam yakinnya. Pasrahkan diri turuti nurani.

Aku disini yang penuh nista, aku di sini yang teramat hina, aku disini yang hampir berpaling. Aku pasrah kan segenap jalanku. Aku pasrahkan segenap cintaku. Yang milik-Mu lah ku yakin abadi. Yang penuh bimbang telah ku buang. Yang tetap teguh kan segera ku raih.

Maafkan atas segala rapuhku. Maafkan atas segala khianat. Rengkuhlah aku dengan cinta-Mu. Basuhlah aku dengan suci-Mu. Jemputlah aku menuju cinta-Mu.

Wanita itu akhirnya tergeletak tak berdaya. Jiwanya telah berpisah dari raganya yang fana menuju kebahagiaan sejati yang abadi.. datanglah sekelompok malaikat bersayap mengitarinya. Menjemput jiwanya yang suci. Tabir pun akhirnya menutup panggung dengan perlahan. Dengan malaikat tetap disamping jasad wanita yang juga digendongnya.

Selasa, 02 Maret 2010

Shoutul Mar’ah



Atas nama kebebasan

Kau kungkung kami dalam jeratan birahi

Mengoyak-ngoyak mahkota kehormatan

Lewat alam khayali…


Atas nama kemuliaan

Kau dudukkan kami dalam keterpurukan

Kau jadikan kami tindihan menuju kesuksesan

Lewat obralan ‘keindahan’ kami…


Atas nama hak asasi

Kau teriakkan lengkingan penuh hasrat

Menjunjung kami mengobral jasad

Menelanjangi diri, telusuri lekuk demi lekuk tanpa terpejam


‘Keindahan’ ini,

Mengobrak-abrik libido yang tertidur nyenyak

Menghujani bumi dengan guyuran mani

Melemahkan jiwa-jiwa tangguh dalam sekejap

Merengkuh jiwa raga, mengikis iman, membuang cita, mencipta sengsara…


Atas nama…

Kau…


Demi Alloh… kebebasan kami adalah

Saat jiwa raga terpaut dan terpacu hanya pada Nya

Saat ‘keindahan’ ini membuahkan maslahah

Saat ‘keindahan’ ini mempesonakan cinta Nya

Saat ‘keindahan’ ini merenggut mahkota keindahan bidadari dan membuatnya terbakar api cemburu…

Nafs Al Muthma’innah

Aku adalah orang yang terlahir dari keluarga sangat sederhana, bahkan bisa juga dikatakan kekurangan. Bapakku pekerjaannya memunguti sampah alias bahasa kerennya pemulung. Ibuku penjual makanan sederhana seperti gorengan, kue, dan lain-lain di depan rumah. Aku sebut saja rumah, meski lebih mirip kandang jika dilihat dari luar. Rumah ku hanya terdiri dari kumpulan papan kayu yang dibentuk seolah rumah. Untungnya bapakku juga pegawai bangunan sehingga bisa membentuk sedemikian rupa. Rumahku dibentuk mempunyai dua lantai, yang atas adalah kamar bapak-ibu, dan yang bawah tempat serba bisa. Siangnya jadi tempat kerja atau juga ruang tamu dan yang lainnya, dan malamnya berfungsi sebagai kamar tidur ku dan saudara kembarku. Tinggal membuka kasur lipat saja semuanya beres. Sekitar rumahku lahan kosong, bapakku memberi pagar disekeliling supaya kami menjadi lebih aman dan punya privasi. Samping kanan lahan kosong adalah makam warga desa. Samping kiri lahan kosong dekat rumah adalah surau terbesar desa ku, Sido Rukun.
Sejak kecil, aku dan saudaraku tidak pernah punya waktu untuk bermain laiknya anak kecil pada umumnya kami harus bahu – membahu satu sama lain. Kadang berbagi tugas, ada yang bantu bapak memilah-milah sampah, ada juga yang membantu ibu bersih-bersih atau memasak untuk persiapan makan dan jualan.
Aku mempunyai seorang saudara kembar, namanya Muthmainnah. Dia lebih dulu dilahirkan kedunia sehingga aku memanggilnya kakak. Dia anak yang sangat penurut, baik hati, sabar dan selalu tampak tenang sama seperti namanya yang artinya tenang. Dia begitu manis, kulitnya lebih gelap dari aku karena waktu luangnya selain ia pergunakan untuk membaca ia pergunakan juga untuk memunguti sampah di TPS alias tempat pembuangan sampah di desa sebelah. Berbeda dengan aku, aku selalu mencari-cari alasan dengan dalih aku lebih suka membantu ibu di rumah.
“ Kak, panas-panas gini mau kemana?” ungkap ku
“ kakak mau ke TPS sebelah. Biasa, bantu ayah, siapa tahu ada barang bekas bagus, atau... syukur-syukur bisa menemukan buku bacaan yang masih bagus” jawab kakak
“ ini kan siang hari, kak. Kakak tidak istirahat dulu, kan baru pulang sekolah..”
“ tidak apa-apa, nafsi mau ikut?, nggak juga nggak papa. Lagi pula ibu butuh bantuan.”
Begitulah kakakku. Tidak pernah mengutamakan dirinya. kami adalah orang termiskin di kampung, namun kami tidak pernah mengemis ke orang lain. Meskipun kami miskin, kesempatan belajar terbuka untuk kami. Desa Sido Rukun ini penduduknya ramah tamah dan suka menolong, termasuk Kadesnya, Pak Hasan. Dia kaya raya namun terkenal Dermawan. Semua anak miskin mendapat bantuan penuh untuk mengikuti pendidikan. Desa Sido Rukun ini adalah satu-satunya desa yang menerapkan wajib belajar hingga ke jenjang menengah atas. Pagi hari, semua anak diwajibkan berangkat ke sekolah dan sore hingga malamnya, kami berkumpul dengan anak-anak lain mengaji di surau kebanggaan desa Sido Rukun.
Meski bagi kakak dan keluargaku sangat bersyukur dengan kehidupan kami, namun bagiku ini sangat menyiksa. Kenapa banyak anak bisa menikmati masa kanak-kanak yang sesungguhnya tanpa harus terbebani dengan kesibukan mencari nafkah. Aku malu disebut anak pemulung. Beberapa temanku yang iri dengan prestasiku meledekku dengan sebutan “pemulung alias pencuri ulung dilarang masuk”. Suatu saat aku akan buktikan, aku akan menjadi orang sukses yang terpelajar. Dan mereka akan merasa malu karena pernah meledekku dulu. Aku muak sekali, kenapa Allah yang disebut sebagai Tuhan bisa bersikap tidak adil, kenapa ia yang selalu dipuja-puja keluargaku sama sekali tidak memberikan yang terbaik untuk keluargaku. Kenapa Dia bisa berbuat tidak adil, bukankah selama ini keluargaku tidak pernah melalaikan kewajiban kami.
Rasa muakku yang meluap-luap ini sudah begitu difahami oleh kakakku. Ia adalah satu-satunya orang yang bisa aku keluhi. Pernah pada suatu ketika aku berbincang – bincang dengannya tentang isi hatiku, aku yang mulai meragukan kuasa Tuhan atasku.
“ Kak, kenapa kita harus sholat memangnya sholat bisa menjadikan kita kaya?”
Kakakku seketika mengernyitkan dahinya, dan seketika pula ia tersenyum tenang sambil membuka-buka buku pelajarannya.
“ Kak, coba kakak bayangkan, kita tidak pernah berubah. Selalu seperti ini. Coba juga kakak pikirkan, yakinkah kakak adanya Allah, yang kita puja sebagai Tuhan? Padahal kita tidak pernah melihatnya.”
“ Nafsi, cobalah kau lihat buku ini, kau lihat kita dulu berasal dari cairan yang disebut mani., kau sudah belajar untuk ujian besok?” sambil menunjukkan padaku bukunya, ia seolah mengalihkan pembicaraan.
“ ayolah Kak, apa kakak selama ini tidak pernah berfikir sama denganku. Jangan mengalihkan pembicaraan..”
“ Nafsi, kau adalah adikku yang cerdas. Kakak yakin itu, kau masih ingat pengajian Al Hikam Rabu malam kemarin, disana diterangkan tentang hakikat makna pandai dan bodoh. Kakak yakin kau lebih cerdas dari kakak. Bukankah nilai pelajaranmu selalu lebih baik dariku selama ini? Coba kau jawab pertanyaan itu dengan hati nuranimu”
Kakakku selalu begitu, di satu sisi selalu menyanjungku, di sisi lain aku kebingungan dibuatnya. Aku harus menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri. Tapi.. aku jadi teringat, pengajian Rabu kemarin membahas apa ya??..
Di satu sisi aku begitu kagum dengan ketenangan sikap dan kedewasaan cara berpikirnya. Dia begitu cerdas meski aku sendiri heran kenapa nilai pelajarannya standard saja. Dan memang selama ini aku selalu menjadi yang terbaik di sekolah seperti kata kakakku. Beasiswaku dua kali lebih banyak dari siswa lain sehingga aku bisa sedikit menyisakan uangku untuk menabung. Selama ini aku berusaha untuk menjadi yang terbaik. Aku ingin lebih berkecukupan, aku ingin sekolah terus hingga jenjang selanjutnya.
Aku masih juga belum dapatkan pertanyaan atas pertanyaanku tadi. Kedua orang tuaku adalah orang yang taat beragama. Tapi hidupnya tak pernah lebih baik. Sebaliknya kulihat kebayakan orang diluar, hidup mewah dan serba kecukupan. Padahal mereka tak pernah sholat. Aku jadi semakin meragukan kebiasaan yang telah terbangun sejak kecil, yakni sholat. Bukankah hidup ini adalah realita, kenapa ada ritual yang aneh semacam sholat. Apa sebenarnya yang orang cari dari sholat. Bukankah percaya dengan Tuhan atau sholat itu tak ada bedanya dengan percaya mitos atau takhayul?. Siapa itu Alloh atau Tuhan, siapa sebenar-benarnya yang mereka agungkan itu, sejak kapan dia muncul dan sejak kapan dia ada. Aku pun menulis semua keluhan dan kebingunganku tadi dalam buku harianku. Saking jengkelnya, semua keluhan itu selain aku tulis juga keluar dari mulutku. Kakakku mendengarnya dan hanya tersenyum. Malam itu, kita telah siap dengan kasur lipat yang tergelar dan buku-buku berjejer di samping kita masing-masing. Kakakku juga sedang menulis buku hariannya, namun dengan wajah yang tenang dan berseri- seri. Selalu!
Kebiasaanku dan kakakku menulis buku harian adalah kebiasaan yang sudah terbangun sejak masih sekolah dasar. Waktu itu guru SD memberi tugas mencatat aktivitas sehari-hari selama sebulan. Semenjak itu, banyak anak yang ketagihan menulis buku harian. Termasuk kita, sampai kini menginjak SMA, kita terus menulis meski hanya dibuku biasa.
Setiap malam, ada juga kebiasaan keluargaku yang selalu bangun jam dua malam. Kami terbiasa sholat malam dan setelah itu kami sudahsibuk membantu bapak ibu bekerja keras untuk dapatkan sesuap nasi hari esok. Kakakku seperti biasa mengelus dahiku sambil membangunka aku. Aku ngantu sekali, masih teringat dengan rasa muak atas nasib keluargaku. Kakakku sudah rapi dengan rambut lurus sebahu yang dikuncir. Mukanya basah bekas wudlu. Bibirnya tampak mungil, hidungnya kecil agak mancung. Manis sekali. Melihatnya seolah melihatku. Bedanya kulitku lebih putih dan rambutku hitam kelam sedikit bergelombang. Bukannya menyombongkan diri, tpi kata orang aku memang lebih cantik dan berprestasi. Tapi aku lebih banyak mempunyai sifat buruk, aku lebih pemarah dan lebih penuntut. Berbeda dengan kakakku, meski biasa-biasa saja, tapi dia ibarat mutiara yang memang sengaja menyembunyikan kilaunya. Kakakku melirikku yang masih tak beranjak dari kasurku.
“ ayolah,, bangun dan segera ambil wudhu”
“ emmmh..., ngantuk Kak..”
“ segera bangun, nanti kakak buatkan roti bakar spesial”
Aku langsung terperanjat. Kakakku yang baik dan cerdas. Dia tahu bagaimana mengatasi kemanjaanku. Dia tahu aku suka roti bakar sederhana buatannya. Meskipun aku malas, tapi aku juga melaksanakan kebiasaan yang sudah mengakar sejak kecil itu. Meski aku tak begitu faham eksistensi sholat. Setelah sholat pun aku mulai bertanya lagi pada kakakku yang khusyuk berdzikir dan ber’do’a,
“ kak, apa yang kakak harapkan dari berdo’a. Sudah berapa kali kita berdo’a namun tetap tak ada yang berubah”. Kakakku yang mendengarnya langsung tersenyum. Sambil membenahi mukena kami. Bapak dan ibu yang sudah bangun lebih dulu sudah sibuk dengan pekerjaannya diluar rumah.
“ bagiku, bisa tetap bersama mu, juga bapak ibu adalah karunia yang tak terhingga. Masih banyak karunia lain yang patut disyukuri.”
“ Kak, kenapa ada sholat, yang rakaatnya berbeda-beda. Magrib tiga rakaat, isya empat rakaat, apa lagi itu? Aku sungguh tak mengerti” aku sadar, sudah berkali-kali aku lontarkan pertanyaan itu dan kau selalu menanggapinya dengan sabar dan senyum. Kau selalu menyuruhku untuk berfikir sendiri. Aku menyerah, aku sadar, kau sungguh pasti memiliki hati dan pikiran lebih jernih dariku. Kakakku bergegas bangun setelah mendengar panggilan bapak. Ia pun langsung ikut ayah memunguti sampah di tempat tempat lain.
Aku yang sudah tidak mampu menghadapi diri, tak sabar untuk berfikir. Aku sudah benar-benar menyerah. Tiba-tiba kulirik buku harian kakakku yang tergeletak di samping rak buku. Terbersit niat buruk dibenakku. Apa sebenarnya rahasia dibalik ketenangan sikap kakakku. Aku yakin, semua yang terjadi pasti ia catat. Apalagi ia adalah orang yang cukup cerdas dan dewasa. Kubuka buku itu dan kubaca catatan hariannya semenjak sepekan kemarin. Ada catatan khusus yang ia tandai. “Teruntuk saudaraku tercinta”

Teruntuk Saudaraku
Adikku tersayang, saudaraku satu-satunya, menghadapimu ibarat menghadapi cermin dari diriku sendiri. Wajahmu cantik,otakmu cerdas, kau kau punya keteguhan hati dan tekad yang kuat. Kau adalah perwujudan wanitamasa kini dan masa depan. Namun, ada hal yang aku khawatirkan. Kau dengan kemampuanmu itu mulai menipu nuranimu. Kau tergoda dengan agungnya ego dan rasio yang kau puja. Kau bilang aku terlalu banyak membaca buku religi dan kurang wawasan yang luas. Kau sodorkan aku buku-buku penulis barat yang revolusioner. Katamu mereka lebih menyuguhkan kemajuan pemikiran manusia. Kau lupa, kau tidak sadar bahwa pengetahuan manusia itu ibarat setetes air di lautan. Kau mulai alami disorientasi makna hidup. Kau ragu akan tuhan juga ibadahmu. kau tanyakan dimana Tuhan ketika kita susah. Kau tidak melihat di luar sana banyak orang tidak bisa makan belum punya rumah tetap, juga tidak punya kesempatan untuk sekolah. Mestinya kita bersyukur dan selalu khusnudzon bahwa Alloh sedang menguji cinta hamba Nya. Bagi-Nya, kesedihan hamba-Nya yang beriman jauh lebih menyakitkan. Bukankah para kekasih selalu menguji cinta kekasihnya? Kau bertanya kenapa sholat harus beda rakaat atau dengan cara yang menurutmu aneh. Kenapa tidak kau tanyakan saja kenapa air mendidih itu harus seratus derajat suhunya, atau kenapa api itu panas dan es itu dingin??
Semua hikmah bisa diperoleh dari Islam sayang... ku tak bisa berlaku sok pintar dihadapanmu. Bukankah orang yang terlalu memuja rasionya akan sulit sekali menundukkan egonya, dan kebanyakan mereka lebih suka berdebat ketimbang berfikir jernih. Kau suruh aku mengembangkan bacaanku, padahal ku yakin lebih banyak hal tentang Islam sendiri yang yang tidak aku fahami. Dan kau, kau bantah mentah-mentah ajaran yang kau sendiri enggan untuk mempelajarinya lebih dalam. Kau tidak bisa menerima tuhan itu ada sebelum semua ada. Tapi kau yakin bahwa adanya “tidak ada” sebelum angka satu. Kau tanya di sebelah mana tuhan saat ini, kau tak pernah tanya di sisi mana kandungan lemak pada segelas susu, atau disebelah mana perasaan itu.
Kesusahan selalu membuatmu tak nyaman. Segala kebaikan dan peribadatan kau hargai sebagai sebuah ketaatan yang patut memperoleh imbalan segera. Terlupakankah, mungkin kisah rasul hanya kau anggap dongeng wajib semasa kecil belaka saat ini. Kisah tentang Revolusi Prancis, Inggris, Perjuangan Marx dan lain sebagainya lebih bangga kau ungkit ketimbang cerita kenabian.. bukankah Rasul kita adalah jauh lebih teladan ketimbang paham-paham yang kini beredar? Lupakah engkau siapa dia, yang sejak kecil sudah menggembala kambing, yang harta atau makanan hanya cukup untuk hari itu juga, yang pelepah kurma adalah alas tidurnya sedang kita masih punya kasur lipat empuk mesti sudah bekas dan lama. Dia juga yang menebarkan paham-paham anti korupsi yang zaman dahulu penyakit riba sudah mewabah. Mampukah kemiskinan merendahkan derajatnya? Berbedakah sikapnya dengan yang kaya atau miskin? Semua orang mencintainya hingga berabad-abad setelah ia tak ada. Ku ingat salah satu kisahnya, yang mana shahabat menangis ketika melihat perutnya sengaja dibalut dengan kain berisi batu-batuan untuk menutupi kurusnya tubuhyang hingga dua tiga hari belum terisi makanan. Tak cukup kiranya buku harian kecil ini digunakan untuk menuliskan kisah teladannya.
Saudaraku, kau adalah belahan jiwaku, tak pernah henti do’aku terlantun untuk. Ku tetap yakin, pencarianmu kali ini adalah ibarat pencarian Nabi Ibrahim atas Tuhannya. Ketika hidayah telah mampu ia raih, dan tuhan sejati telah ia temukan, maka keteguhan imanlah yang justru semakin terbangun. Sehingga ia relakan semuanya demi memperjuangkan agamanya. Semoga hidyah itu pula lah yang akan mampu kau raih, sayang. Dan bila saat itu tiba, ku saksikan engkau tak lagi mengarahkan rasiomu justru untuk memberontah nuranimu. Sebaliknya, nuranilah yang akan menerangi jalan hati dan pikiranmu... tetaplah berusaha saudariku.. do’aku senantiasa menyertaimu..”

Hanya sekian yang bisa aku baca dari catatanmu yang aku yakin banyak pertanyaan yang kau jawab di lembar berikutnya. Aku yakin kau tidak pernah bisa untuk tidak memperdulikanku. Diammu adalah kehendaku untuk menuliskan isi hatimu. Terima kasih kakakku. Meski sedikit saja yang bisa ku terima. Mungkin kau benar aku terlalu mengunggulkan rasio dan sulit menundukkan ego. Aku tahu rasa sayangmu kepadaku adalah hal penting dalam hidupmu. Maafkan atas kelancanganku. Kuhargai pencerahan yang berlandaskan bening dan tulusnya hatimu. Ku sadari kerasnya mauku. Namun akan tetap u ikuti saranmu. Meski hingga sat ini ku ku masih meragukan tuhan yang tak tampak itu. Akan ku coba selami tuhan yang tak tampak itu dari semua sumber petunjuk, mulai ari goresan-goresan tinta pacintaMu, atau melalui hal lain. Mungkin saja suatu saat akan kuperoleh jawaban itu.