Selasa, 02 Maret 2010

Nafs Al Muthma’innah

Aku adalah orang yang terlahir dari keluarga sangat sederhana, bahkan bisa juga dikatakan kekurangan. Bapakku pekerjaannya memunguti sampah alias bahasa kerennya pemulung. Ibuku penjual makanan sederhana seperti gorengan, kue, dan lain-lain di depan rumah. Aku sebut saja rumah, meski lebih mirip kandang jika dilihat dari luar. Rumah ku hanya terdiri dari kumpulan papan kayu yang dibentuk seolah rumah. Untungnya bapakku juga pegawai bangunan sehingga bisa membentuk sedemikian rupa. Rumahku dibentuk mempunyai dua lantai, yang atas adalah kamar bapak-ibu, dan yang bawah tempat serba bisa. Siangnya jadi tempat kerja atau juga ruang tamu dan yang lainnya, dan malamnya berfungsi sebagai kamar tidur ku dan saudara kembarku. Tinggal membuka kasur lipat saja semuanya beres. Sekitar rumahku lahan kosong, bapakku memberi pagar disekeliling supaya kami menjadi lebih aman dan punya privasi. Samping kanan lahan kosong adalah makam warga desa. Samping kiri lahan kosong dekat rumah adalah surau terbesar desa ku, Sido Rukun.
Sejak kecil, aku dan saudaraku tidak pernah punya waktu untuk bermain laiknya anak kecil pada umumnya kami harus bahu – membahu satu sama lain. Kadang berbagi tugas, ada yang bantu bapak memilah-milah sampah, ada juga yang membantu ibu bersih-bersih atau memasak untuk persiapan makan dan jualan.
Aku mempunyai seorang saudara kembar, namanya Muthmainnah. Dia lebih dulu dilahirkan kedunia sehingga aku memanggilnya kakak. Dia anak yang sangat penurut, baik hati, sabar dan selalu tampak tenang sama seperti namanya yang artinya tenang. Dia begitu manis, kulitnya lebih gelap dari aku karena waktu luangnya selain ia pergunakan untuk membaca ia pergunakan juga untuk memunguti sampah di TPS alias tempat pembuangan sampah di desa sebelah. Berbeda dengan aku, aku selalu mencari-cari alasan dengan dalih aku lebih suka membantu ibu di rumah.
“ Kak, panas-panas gini mau kemana?” ungkap ku
“ kakak mau ke TPS sebelah. Biasa, bantu ayah, siapa tahu ada barang bekas bagus, atau... syukur-syukur bisa menemukan buku bacaan yang masih bagus” jawab kakak
“ ini kan siang hari, kak. Kakak tidak istirahat dulu, kan baru pulang sekolah..”
“ tidak apa-apa, nafsi mau ikut?, nggak juga nggak papa. Lagi pula ibu butuh bantuan.”
Begitulah kakakku. Tidak pernah mengutamakan dirinya. kami adalah orang termiskin di kampung, namun kami tidak pernah mengemis ke orang lain. Meskipun kami miskin, kesempatan belajar terbuka untuk kami. Desa Sido Rukun ini penduduknya ramah tamah dan suka menolong, termasuk Kadesnya, Pak Hasan. Dia kaya raya namun terkenal Dermawan. Semua anak miskin mendapat bantuan penuh untuk mengikuti pendidikan. Desa Sido Rukun ini adalah satu-satunya desa yang menerapkan wajib belajar hingga ke jenjang menengah atas. Pagi hari, semua anak diwajibkan berangkat ke sekolah dan sore hingga malamnya, kami berkumpul dengan anak-anak lain mengaji di surau kebanggaan desa Sido Rukun.
Meski bagi kakak dan keluargaku sangat bersyukur dengan kehidupan kami, namun bagiku ini sangat menyiksa. Kenapa banyak anak bisa menikmati masa kanak-kanak yang sesungguhnya tanpa harus terbebani dengan kesibukan mencari nafkah. Aku malu disebut anak pemulung. Beberapa temanku yang iri dengan prestasiku meledekku dengan sebutan “pemulung alias pencuri ulung dilarang masuk”. Suatu saat aku akan buktikan, aku akan menjadi orang sukses yang terpelajar. Dan mereka akan merasa malu karena pernah meledekku dulu. Aku muak sekali, kenapa Allah yang disebut sebagai Tuhan bisa bersikap tidak adil, kenapa ia yang selalu dipuja-puja keluargaku sama sekali tidak memberikan yang terbaik untuk keluargaku. Kenapa Dia bisa berbuat tidak adil, bukankah selama ini keluargaku tidak pernah melalaikan kewajiban kami.
Rasa muakku yang meluap-luap ini sudah begitu difahami oleh kakakku. Ia adalah satu-satunya orang yang bisa aku keluhi. Pernah pada suatu ketika aku berbincang – bincang dengannya tentang isi hatiku, aku yang mulai meragukan kuasa Tuhan atasku.
“ Kak, kenapa kita harus sholat memangnya sholat bisa menjadikan kita kaya?”
Kakakku seketika mengernyitkan dahinya, dan seketika pula ia tersenyum tenang sambil membuka-buka buku pelajarannya.
“ Kak, coba kakak bayangkan, kita tidak pernah berubah. Selalu seperti ini. Coba juga kakak pikirkan, yakinkah kakak adanya Allah, yang kita puja sebagai Tuhan? Padahal kita tidak pernah melihatnya.”
“ Nafsi, cobalah kau lihat buku ini, kau lihat kita dulu berasal dari cairan yang disebut mani., kau sudah belajar untuk ujian besok?” sambil menunjukkan padaku bukunya, ia seolah mengalihkan pembicaraan.
“ ayolah Kak, apa kakak selama ini tidak pernah berfikir sama denganku. Jangan mengalihkan pembicaraan..”
“ Nafsi, kau adalah adikku yang cerdas. Kakak yakin itu, kau masih ingat pengajian Al Hikam Rabu malam kemarin, disana diterangkan tentang hakikat makna pandai dan bodoh. Kakak yakin kau lebih cerdas dari kakak. Bukankah nilai pelajaranmu selalu lebih baik dariku selama ini? Coba kau jawab pertanyaan itu dengan hati nuranimu”
Kakakku selalu begitu, di satu sisi selalu menyanjungku, di sisi lain aku kebingungan dibuatnya. Aku harus menjawab pertanyaan yang aku ajukan sendiri. Tapi.. aku jadi teringat, pengajian Rabu kemarin membahas apa ya??..
Di satu sisi aku begitu kagum dengan ketenangan sikap dan kedewasaan cara berpikirnya. Dia begitu cerdas meski aku sendiri heran kenapa nilai pelajarannya standard saja. Dan memang selama ini aku selalu menjadi yang terbaik di sekolah seperti kata kakakku. Beasiswaku dua kali lebih banyak dari siswa lain sehingga aku bisa sedikit menyisakan uangku untuk menabung. Selama ini aku berusaha untuk menjadi yang terbaik. Aku ingin lebih berkecukupan, aku ingin sekolah terus hingga jenjang selanjutnya.
Aku masih juga belum dapatkan pertanyaan atas pertanyaanku tadi. Kedua orang tuaku adalah orang yang taat beragama. Tapi hidupnya tak pernah lebih baik. Sebaliknya kulihat kebayakan orang diluar, hidup mewah dan serba kecukupan. Padahal mereka tak pernah sholat. Aku jadi semakin meragukan kebiasaan yang telah terbangun sejak kecil, yakni sholat. Bukankah hidup ini adalah realita, kenapa ada ritual yang aneh semacam sholat. Apa sebenarnya yang orang cari dari sholat. Bukankah percaya dengan Tuhan atau sholat itu tak ada bedanya dengan percaya mitos atau takhayul?. Siapa itu Alloh atau Tuhan, siapa sebenar-benarnya yang mereka agungkan itu, sejak kapan dia muncul dan sejak kapan dia ada. Aku pun menulis semua keluhan dan kebingunganku tadi dalam buku harianku. Saking jengkelnya, semua keluhan itu selain aku tulis juga keluar dari mulutku. Kakakku mendengarnya dan hanya tersenyum. Malam itu, kita telah siap dengan kasur lipat yang tergelar dan buku-buku berjejer di samping kita masing-masing. Kakakku juga sedang menulis buku hariannya, namun dengan wajah yang tenang dan berseri- seri. Selalu!
Kebiasaanku dan kakakku menulis buku harian adalah kebiasaan yang sudah terbangun sejak masih sekolah dasar. Waktu itu guru SD memberi tugas mencatat aktivitas sehari-hari selama sebulan. Semenjak itu, banyak anak yang ketagihan menulis buku harian. Termasuk kita, sampai kini menginjak SMA, kita terus menulis meski hanya dibuku biasa.
Setiap malam, ada juga kebiasaan keluargaku yang selalu bangun jam dua malam. Kami terbiasa sholat malam dan setelah itu kami sudahsibuk membantu bapak ibu bekerja keras untuk dapatkan sesuap nasi hari esok. Kakakku seperti biasa mengelus dahiku sambil membangunka aku. Aku ngantu sekali, masih teringat dengan rasa muak atas nasib keluargaku. Kakakku sudah rapi dengan rambut lurus sebahu yang dikuncir. Mukanya basah bekas wudlu. Bibirnya tampak mungil, hidungnya kecil agak mancung. Manis sekali. Melihatnya seolah melihatku. Bedanya kulitku lebih putih dan rambutku hitam kelam sedikit bergelombang. Bukannya menyombongkan diri, tpi kata orang aku memang lebih cantik dan berprestasi. Tapi aku lebih banyak mempunyai sifat buruk, aku lebih pemarah dan lebih penuntut. Berbeda dengan kakakku, meski biasa-biasa saja, tapi dia ibarat mutiara yang memang sengaja menyembunyikan kilaunya. Kakakku melirikku yang masih tak beranjak dari kasurku.
“ ayolah,, bangun dan segera ambil wudhu”
“ emmmh..., ngantuk Kak..”
“ segera bangun, nanti kakak buatkan roti bakar spesial”
Aku langsung terperanjat. Kakakku yang baik dan cerdas. Dia tahu bagaimana mengatasi kemanjaanku. Dia tahu aku suka roti bakar sederhana buatannya. Meskipun aku malas, tapi aku juga melaksanakan kebiasaan yang sudah mengakar sejak kecil itu. Meski aku tak begitu faham eksistensi sholat. Setelah sholat pun aku mulai bertanya lagi pada kakakku yang khusyuk berdzikir dan ber’do’a,
“ kak, apa yang kakak harapkan dari berdo’a. Sudah berapa kali kita berdo’a namun tetap tak ada yang berubah”. Kakakku yang mendengarnya langsung tersenyum. Sambil membenahi mukena kami. Bapak dan ibu yang sudah bangun lebih dulu sudah sibuk dengan pekerjaannya diluar rumah.
“ bagiku, bisa tetap bersama mu, juga bapak ibu adalah karunia yang tak terhingga. Masih banyak karunia lain yang patut disyukuri.”
“ Kak, kenapa ada sholat, yang rakaatnya berbeda-beda. Magrib tiga rakaat, isya empat rakaat, apa lagi itu? Aku sungguh tak mengerti” aku sadar, sudah berkali-kali aku lontarkan pertanyaan itu dan kau selalu menanggapinya dengan sabar dan senyum. Kau selalu menyuruhku untuk berfikir sendiri. Aku menyerah, aku sadar, kau sungguh pasti memiliki hati dan pikiran lebih jernih dariku. Kakakku bergegas bangun setelah mendengar panggilan bapak. Ia pun langsung ikut ayah memunguti sampah di tempat tempat lain.
Aku yang sudah tidak mampu menghadapi diri, tak sabar untuk berfikir. Aku sudah benar-benar menyerah. Tiba-tiba kulirik buku harian kakakku yang tergeletak di samping rak buku. Terbersit niat buruk dibenakku. Apa sebenarnya rahasia dibalik ketenangan sikap kakakku. Aku yakin, semua yang terjadi pasti ia catat. Apalagi ia adalah orang yang cukup cerdas dan dewasa. Kubuka buku itu dan kubaca catatan hariannya semenjak sepekan kemarin. Ada catatan khusus yang ia tandai. “Teruntuk saudaraku tercinta”

Teruntuk Saudaraku
Adikku tersayang, saudaraku satu-satunya, menghadapimu ibarat menghadapi cermin dari diriku sendiri. Wajahmu cantik,otakmu cerdas, kau kau punya keteguhan hati dan tekad yang kuat. Kau adalah perwujudan wanitamasa kini dan masa depan. Namun, ada hal yang aku khawatirkan. Kau dengan kemampuanmu itu mulai menipu nuranimu. Kau tergoda dengan agungnya ego dan rasio yang kau puja. Kau bilang aku terlalu banyak membaca buku religi dan kurang wawasan yang luas. Kau sodorkan aku buku-buku penulis barat yang revolusioner. Katamu mereka lebih menyuguhkan kemajuan pemikiran manusia. Kau lupa, kau tidak sadar bahwa pengetahuan manusia itu ibarat setetes air di lautan. Kau mulai alami disorientasi makna hidup. Kau ragu akan tuhan juga ibadahmu. kau tanyakan dimana Tuhan ketika kita susah. Kau tidak melihat di luar sana banyak orang tidak bisa makan belum punya rumah tetap, juga tidak punya kesempatan untuk sekolah. Mestinya kita bersyukur dan selalu khusnudzon bahwa Alloh sedang menguji cinta hamba Nya. Bagi-Nya, kesedihan hamba-Nya yang beriman jauh lebih menyakitkan. Bukankah para kekasih selalu menguji cinta kekasihnya? Kau bertanya kenapa sholat harus beda rakaat atau dengan cara yang menurutmu aneh. Kenapa tidak kau tanyakan saja kenapa air mendidih itu harus seratus derajat suhunya, atau kenapa api itu panas dan es itu dingin??
Semua hikmah bisa diperoleh dari Islam sayang... ku tak bisa berlaku sok pintar dihadapanmu. Bukankah orang yang terlalu memuja rasionya akan sulit sekali menundukkan egonya, dan kebanyakan mereka lebih suka berdebat ketimbang berfikir jernih. Kau suruh aku mengembangkan bacaanku, padahal ku yakin lebih banyak hal tentang Islam sendiri yang yang tidak aku fahami. Dan kau, kau bantah mentah-mentah ajaran yang kau sendiri enggan untuk mempelajarinya lebih dalam. Kau tidak bisa menerima tuhan itu ada sebelum semua ada. Tapi kau yakin bahwa adanya “tidak ada” sebelum angka satu. Kau tanya di sebelah mana tuhan saat ini, kau tak pernah tanya di sisi mana kandungan lemak pada segelas susu, atau disebelah mana perasaan itu.
Kesusahan selalu membuatmu tak nyaman. Segala kebaikan dan peribadatan kau hargai sebagai sebuah ketaatan yang patut memperoleh imbalan segera. Terlupakankah, mungkin kisah rasul hanya kau anggap dongeng wajib semasa kecil belaka saat ini. Kisah tentang Revolusi Prancis, Inggris, Perjuangan Marx dan lain sebagainya lebih bangga kau ungkit ketimbang cerita kenabian.. bukankah Rasul kita adalah jauh lebih teladan ketimbang paham-paham yang kini beredar? Lupakah engkau siapa dia, yang sejak kecil sudah menggembala kambing, yang harta atau makanan hanya cukup untuk hari itu juga, yang pelepah kurma adalah alas tidurnya sedang kita masih punya kasur lipat empuk mesti sudah bekas dan lama. Dia juga yang menebarkan paham-paham anti korupsi yang zaman dahulu penyakit riba sudah mewabah. Mampukah kemiskinan merendahkan derajatnya? Berbedakah sikapnya dengan yang kaya atau miskin? Semua orang mencintainya hingga berabad-abad setelah ia tak ada. Ku ingat salah satu kisahnya, yang mana shahabat menangis ketika melihat perutnya sengaja dibalut dengan kain berisi batu-batuan untuk menutupi kurusnya tubuhyang hingga dua tiga hari belum terisi makanan. Tak cukup kiranya buku harian kecil ini digunakan untuk menuliskan kisah teladannya.
Saudaraku, kau adalah belahan jiwaku, tak pernah henti do’aku terlantun untuk. Ku tetap yakin, pencarianmu kali ini adalah ibarat pencarian Nabi Ibrahim atas Tuhannya. Ketika hidayah telah mampu ia raih, dan tuhan sejati telah ia temukan, maka keteguhan imanlah yang justru semakin terbangun. Sehingga ia relakan semuanya demi memperjuangkan agamanya. Semoga hidyah itu pula lah yang akan mampu kau raih, sayang. Dan bila saat itu tiba, ku saksikan engkau tak lagi mengarahkan rasiomu justru untuk memberontah nuranimu. Sebaliknya, nuranilah yang akan menerangi jalan hati dan pikiranmu... tetaplah berusaha saudariku.. do’aku senantiasa menyertaimu..”

Hanya sekian yang bisa aku baca dari catatanmu yang aku yakin banyak pertanyaan yang kau jawab di lembar berikutnya. Aku yakin kau tidak pernah bisa untuk tidak memperdulikanku. Diammu adalah kehendaku untuk menuliskan isi hatimu. Terima kasih kakakku. Meski sedikit saja yang bisa ku terima. Mungkin kau benar aku terlalu mengunggulkan rasio dan sulit menundukkan ego. Aku tahu rasa sayangmu kepadaku adalah hal penting dalam hidupmu. Maafkan atas kelancanganku. Kuhargai pencerahan yang berlandaskan bening dan tulusnya hatimu. Ku sadari kerasnya mauku. Namun akan tetap u ikuti saranmu. Meski hingga sat ini ku ku masih meragukan tuhan yang tak tampak itu. Akan ku coba selami tuhan yang tak tampak itu dari semua sumber petunjuk, mulai ari goresan-goresan tinta pacintaMu, atau melalui hal lain. Mungkin saja suatu saat akan kuperoleh jawaban itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar