Rabu, 03 Maret 2010

yang Abadi atau Fana


Di dalam sebuah panggung - yang telah di setting – keseluruhannya hitam pekat gelap gulita – yang menandakan malam dan kepedihan – tabir panggung terbuka perlahan-lahan. Masih tampak gelap gulita. Diiringi suara alam; jangkrik, aliran air, hembusan angin lirih. Satu lampu menyala dan hanya menyoroti satu tokoh wanita. Wanita berjilbab lebar dan bergamis putih-putih, sedang duduk bersimpuh dengan wajah tertunduk, menghadap bulan sabit di atas panggung sebelah pojok kiri atas. Bulan sabit dan bintang-bintang kertas menyala. Wanita tetap tertunduk khusyuk dengan munajatnya...

Rabb, sebelum kau cipta alam dengan seluruh isinya, malaikat dengan berjuta pasukan serupa cahaya, iblis dengan jutaan anak pinak yang terus beranak hingga sangkakala isrofil terdengar lantang, surga dengan berbagai perhiasannya, neraka dengan berbagai siksaannya, galaksi dengan berbagai perangkatnya yang dirajai surya selaku pusat energinya...

Sebelum semua-muanya Kau Cipta...

Kau telah cipta pusat energi... pusat energi cahaya cinta.. yang tiada hentinya menebar kasih Mu yang abadi...

Cahaya kekasih terkasih-Mu... Nur Muhammad...

Perempuan itu mengangkat perlahan wajahnya menatap bulan, mencari dan menebak tumpuan pandangan yang ia anggap seolah salah satu mata Tuhan. Sembari meratap dan meringis perih dengan tangan mendekap dada.

Rabb... tiada pernah ku tahu Kau memilihku hidup dengan ruh yang kini menyatu bersama raga yang fana...Tiada pernah Kau izinkan aku untuk berkata bersedia atau tidak saat Kau titahkan aku ke alam fana...

Namun tiada pernah pula ku lawan titah-Mu, karena titah-Mu yang Maha Agung tiada pernah sanggup terlawan.. karena pesona-Mu yang Maha Indah, tiada bisa terelakkan sehingga mau tidak mau begitu memikat dan menundukkan mau ku...

Semuanya karena cinta...

Kau ikat aku dengan ikrar cita, pengabdian tiada henti, hingga Kau jemput aku dengan surga-Mu, atau pengkhianatan atas cinta-Mu yang kemudian Kau campakkan aku dalam siksa lara nan abadi di neraka...

Perempuan itu menangis mengalirkan air matanya. Tetap duduk tunduk bersimpuh..

Aku bersimpuh tunduk pasrah pada Mu ya Rabb, Wahai Penggenggam diri dan seluruh arsy milik-Mu...

Aku tersadar dengan sesadar-sadarnya akan nistanya diriku...

Aku tersadar dengan sesadarnya akan hina nya segala ku...

Aku tersadar dengan sesadar-sadarnya akan rendahnya hati dan laku ku, hingga ku tak mampu meronta dan membebas dari jurang kehinaan yang teramat gelap pekat dan membelenggu

Perempuan itu menggenggam surat undangan pernikahannya di genggaman sebelah kanan dan sepucuk surat cinta kekasih di sebelah kiri. Sembari membuka keduanya di hadapannya

Ada dua tawaran jalan hidup yang begitu membuat ku tak mampu tenangkan diri, sebelah kananku tawaran-Mu tuk segera menaiki bukit kesempurnaan Dien-Mu, dengan hamba pilihan entah pilihan siapa yang pasti tangan-Mu telah menggariskannya

Sebelah kiriku tergenggam tawaran jalan lain kehidupan, untuk berlari jauh dari bukit yang sebentar lagi ku arungi bersama yang kurang berkenan di hati.. sementara dia yang berkenan di hati yang seluruh jiwa ragaku tak mampu ku alihkan darinya.. yang seluruh ruang jiwa membukakan pintu untuknya selalu.. dan kebahagiaan impian bersama sang dia yang aku kasihi... menarikku dan merintih kebersamaan denganku untuk menaiki bukit itu..

Memang telah terikat janji ku pada-Mu, janji setia berjalan lurus ke arah-Mu. Janji persembahkan jiwa ragaku dan seluruh rasa cinta hanya pada-Mu, meski apapun yang terjadi...

Perempuan itu berdiri lunglai, menangis perih mendalam... berjalan perlahan mengitari panggung.

Maafkan atas keraguan yang mestinya tak kuragukan. Maafkan atas enggannya diri tuk terus perjuangkan cinta-Mu. Maafkan atas niatan tuk pilih selingkuh yang kusadari fana dan nista..

Namun diri tak sanggup berlari, tinggalkan dia yang juga teramat ku kasihi. Ku tak sanggup bayangkan, dia yang terdiam dengan pedih tertahan dan sakit yang menghunjam...sakitinya tak lain adalah sakiti diri lebih pedih dan perih...

Lalu apa ya Rabb,, apa yang ingin kau beri padaku. Apa yang harus ku pilih, meski telah jelas bagiku apa yang kau suka..

Angin tiba-tiba datang agak kencang dengan suara hembusan angin yang sedikit kencang. Wanita itu terhempas terduduk tertunduk, bersimpuh dengan tubuh menghadap penonton. saking rapuhnya hatinya. Tiba –tiba datanglah sosok berjubah hitam dengan wajah yang tertutup. Gelap menghampiri dari samping kirinya seraya berbisik..

aku adalah hatimu yang sedang teriris pedih dalam kebimbangan yang sangat. Aku adalah kehampaan dan kesunyian yang menanti teman dan kehangatan. Aku adalah jiwa yang butuh cinta dan kebahagiaan. Raihlah segera yang kau cinta. Naikilah bukit sempurna dengannya. Tiada salah dalam cinta, tiada yang perlu diampunkan. Karena Dia tahu Cinta Mu yang teramat besar dan tiada terelakkan..

Angin pun kembali berhembus sedikit kencang. Dan datanglah lagi sosok berjubah putih berkilau cantik menawan ke samping kanan wanita tadi, seraya berbisik..

Akulah jiwamu yang suci. Akulah jiwamu yang tenang. Akulah jiwamu yang putih. Akulah nurani sejatimu. Akulah suara hidayah tuhan-Mu. Yang membisikkan jalan sejati penuh cinta. Yang mengharapkan kebahagiaan selamanya yang bukan sesaat. Pilihkan abadi dan bukan kefanaan.. raihlah cinta abadi, naikilah bukit kesempurnaan, bersama dia yang terpilih. Bersama dia yang menanti.

Kau sadar akan rendahnya tau mu. Yang tak mampu buka tabir kehidupan, dan membaca apa yang kan terjadi kelak. Percayalah Tuhanmu, yang tak pernah larakan dirimu. Yang sedang uji ikrar cinta yang kau ucap sebelum turunmu dalam fana..

Dunia kini padat akan kisah perselingkuhan yang teramat kau benci. Apakah kau sudi berpihak pada nya yang menghianati cinta?

Si putih dan si hitam terus bersama membisikkan suaranya..

Si hitam : larilah dan raih cintamu segera. Dia sedang menantimu di sana

Si putih : tetaplah dalam teguhnya hatimu. Cinta sejati ada di sini, abaikan yang fana dan pilih abadi..

Wanita itu menjerit perih. Menghentikan suara – suara yang sedari tadi mengusik nurani. Dan diapun akhirnya memilih. Pasrahkan diri dalam yakinnya. Pasrahkan diri turuti nurani.

Aku disini yang penuh nista, aku di sini yang teramat hina, aku disini yang hampir berpaling. Aku pasrah kan segenap jalanku. Aku pasrahkan segenap cintaku. Yang milik-Mu lah ku yakin abadi. Yang penuh bimbang telah ku buang. Yang tetap teguh kan segera ku raih.

Maafkan atas segala rapuhku. Maafkan atas segala khianat. Rengkuhlah aku dengan cinta-Mu. Basuhlah aku dengan suci-Mu. Jemputlah aku menuju cinta-Mu.

Wanita itu akhirnya tergeletak tak berdaya. Jiwanya telah berpisah dari raganya yang fana menuju kebahagiaan sejati yang abadi.. datanglah sekelompok malaikat bersayap mengitarinya. Menjemput jiwanya yang suci. Tabir pun akhirnya menutup panggung dengan perlahan. Dengan malaikat tetap disamping jasad wanita yang juga digendongnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar